GERAKAN GENDER
SEBAGAI
REZIM
INTERNASIONAL
MAKALAH
Dipresentasikan Pada
Mata Kuliah : Islam dan
Kesetaraan Gender
Dosen Pengampu : Dr., Hj.,
Umul Baroroh M. Ag.
Disusun Oleh:
Akhmad Basar ( 111
111 075 )
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
GERAKAN GENDER
SEBAGAI
REZIM
INTERNASIONAL
I.
PENDAHULUAN
Gender merupakan suatu peran
yang diberikan pada seseorang oleh masyarakat mulai dari ia lahir. Sehingga hal
tersebut mengalami perbedaan peran yang sangat derastis antara seorang laki-laki dengan perempuan. Sedangkan menurut Mansour
Fakih mengemukakan bahwa istilah gender itu merupakan perbedaan perilaku antara
laki-laki dengan perempuan yang dikontruksi secara sosial yakni perbedaan
tersebut akibat atau ciptaan oleh manusia sendiri.[1]
Dengan berjalannya waktu dan
peradaban yang begitu pesat sehingga perbedaan peran ini menimbulkan ketidakadilan
gender dimana peran antara laki-laki dengan perempuan tidak setara, kemudian
sebagai kaum yang tertindas akhirnya melakukan protes akan hak-haknnya agar diakui
dan dihormati oleh khalayak, sehingga muncullah istilah “Emansipasi Wanita”[2] artinya seorang wanita juga
bisa seperti seorang laki-laki dan juga seharusnya antara laki-laki dengan
perempuan itu memilki kedudukan yang sama tidak boleh dipisah-pisahkan yang
boleh memisahkan hanyalah kualitasnya setelah adanya istilah tersebut maka
lambat laun terdapat istilah yaitu “Rezim gerakan gender” dimana seorang
perempuan juga ingin menjadi pemimpin di dalam suatu kelompoknya.
Mengacu pada pemaparan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa ketidaksetaraan gender itu timbul dari budaya
masyarakat bukan dari agama, juga bukan dari teknologi, kemudian persoalan yang
semacam itu telah menjadi tatanan budaya di dalam suatu masyarakat bagaimana
jika seseorang melanggar kebudayaan yang telah tertanam bertahun-tahun dalam
suatu masyarakat? Untuk itu
perlu kajian khusus agar tidak terjadi kesalahpahaman serta konflik antara
seorang laki-laki dengan perempuan, kemudian bagaimana pandangan islam mengenai
rezim? Dan sebelum itu dibahas secara lanjut kita harus mengetahui apa yang
dimaksud dengan “Rezim” itu?
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa itu rezim?
B.
Bagaimana sejarah adanya rezim gerakan gender international?
C.
Bagimana dengan rezim gerakan gender di Indonesia?
D.
Bagaimana pandangan Islam mengenai rezim gerakan gender?
III.
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Rezim
Arti kata “Rezim”, menurut kamus besar ilmiyah popular bahasa
Indonesia merupakan “masa kepemimpinan, masa kejayaan, kekuasaan,
pemerintahan, dan cara memerintah”.[3]
Ilmuwan politik Fred Judson,
mendefinisikan rezim sebagai "hubungan antara negara,
masyarakat,
pasar,
dan sisipan global".[4]
Sedangkan arti “Rezim” menurut para tokoh adalah sebagai berikut:[5]
1.
Menurut Socrates
Menurut Socrates kelas dalam suatu masyarakat itu
terbagi menjadi tiga golongan yaitu: pertama, kaum pedangang yang selalu bekerja menggunakan
nafsunya, kedua,
kaum prajurit yang selalu mengandalkan dengan
semangatnya, dan ketiga,
kaum filosofis yang selalu menggunakan budi
pekertinya.
Rezim itu bisa dikatakan sebagai keadilan
masyarakat, jika setiap kelas masyarakat melaksanakan fungsi dan pekerjaanya
secara maksimal dan bekerja sama secara harmonis di bawah pengarahan
filosofisnya seorang raja yang bijaksana.
Socrates membedakan rezim menjadi lima tipe, antara
lain yaitu:
Pertama, aristokrasi, tipe ini dikategorikan, sebagai rezim
terbaik karena yang memerintah adalah seorang raja yang bijaksana (filosof).
Kedua, timokrasi, tipe ini dikategorikan sebagai rezim
terbaik kedua. Rezim ini diperintah oleh mereka yang menyukai akan kehormatan
dan kebanggaan, yakni prajurit.
Ketiga, oligarki, tipe ini dikategorikan sebagai rezim yang
diperintah oleh kelompok kecil yang memiliki kekayaan yang melimpah.
Keempat, demokrasi, tipe ini dikategorikan sebagai rezim yang
dipimpin oleh banyak orang yang hanya mengandalkan kebebasan.
Kelima, tirani, tipe ini dikategorikan sebagai rezim yang
terburuk karena yang memerintah adalah seorang tiran yang bertindak sekehendak
nafsunya yang tidak mempunyai kontrol atas dirinya.
2.
Menurut Thomas Hobbes
Menurut Thomas Hobbes pada dasarnya manusia itu
mementingkan dirinya sendiri dan bersifat rasional. Oleh karena itu, secara
alamiah manusia cenderung berkonflik dengan sesamanya.
Untuk itu rezim yang terbaik menurutnya adalah
kewenangan yang absolut, artinya keputusan terakhir mengenai aturan untuk
bertingkah laku dalam masyarakat yang berada pada tangan pemerintah yang
berdaulat.
3.
Menurut John Locke
Fungsi pemerintah menurut Locke ialah memelihara
perdamaian, keselamatan, dan kebaikan bersama untuk setiap warga masyarakat,
sedangkan setiap individu pasti berkeinginan untuk adanya hak-hak kebebasan.
Sehingga rezim yang baik adalah adanya suatu pemerintahan yang menampung
aspirasi kebebasan, perdamaian, keselamatan dan hak untuk setiap warga dan itu
harus ada aturan-aturan yang berfungsi untuk mengatur hal tersebut seperti
hukum.
Baginya, pemerintahan yang berdasarkan hukum tidak
hanya menuntut semua pejabat negara yang bertindak sesuai dengan hukum, tetapi
juga pembuat hukum (legislatif), harus terpisah dari pelaksanaan hukum (eksekutif)
dan pengadilan (yudikatif).
4.
Menurut J.J Rousseau
Rousseau mengemukakan bahwa rezim itu lebih
ditekankan pada keinginan yang bersifat umum (general wiil) bukan
individualis. Menurutnya sejarah manusia itu telah melalui empat tahap.
Yaitu yang pertama adalah tahap primitif, kemudian pembentukan inti masyarakat
atau keluarga, selanjutnya penemuan metalurgi dan pertanian yang pada
gilirannya menimbulkan perbedaan antara orang kaya dan miskin, kemudian yang
terakhir sebagai akibat ketimpangan dalam pemilikan harta benda maka timbul
konflik antara orang kaya dengan orang miskin, konflik itu menimbulkan
kekacauan sosial, untuk itu harus ada aturan-aturan sosial yang bertujuan untuk
mendamaikan masyarakat.
5.
Menurut Karl Marx
Berbeda dari Hobbes dan Locke bahwa masyarakat itu
terdiri dari kelas-kelas bukan individu-individu, sehingga rezim menurut Karl
Marx yaitu pemerintahan yang bisa berjalan dengan harmonis dengan didukung oleh
kelas-kelas masyarakat yang bekerja dengan baik, dan ini lebih dicondongkan
pada tipe aristokrasi.
Dari penjelasan di atas maka kami dapat menyimpulkan
bahwa rezim yaitu serangkaian peraturan, baik formal (misalnya,
Konstitusi) maupun informal (hukum adat, norma-norma budaya atau sosial,
dll) yang mengatur tata cara pelaksanaan suatu pemerintahan dan
interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.
b.
Sejarah adanya rezim
gerakan gender International
Awal adanya gerakan perempuan itu dimotori oleh
pernyataan Sarah Grimke, pada tahun 1837, sebagai berikut: “Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut
kekuasaan tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa,
mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap
sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan”.[6]
Pada
tahun 1857, di kota New York, AS, ribuan buruh perempuan melakukan demonstrasi
besar-besaran menuntut perbaikan kondisi kerja. Demonstrasi itu mendapat
dukungan penuh kaum feminis dan sosialis dunia. Gugatan buruh perempuan New
York itu mendorong aksi solidaritas yang lebih besar dan terorganisir dari
kelompok aktivis serikat buruh dan organ-organ gerakan perempuan di Eropa dan
AS.
Tahun
1904 terbentuk International Women Suffrage Alliance yang menandai kian solid
dan terorganisirnya gerakan perempuan di level global. Tahun 1907 di Stutgart,
Jerman, diselenggarakan konferensi pertama perempuan sosialis Internasional.
Tahun
1908 di New York, AS, ribuan buruh perempuan kembali mengorganisasi demonstrasi
yang menuntut perbaikan kesejahteraan dan kondisi kerja, hak pilih dan dipilih
dalam pemilu serta menentang penggunaan pekerja anak. Tahun 1910, di Kota
Kopenhagen, Denmark, diselenggarakan konferensi kedua perempuan sosialis
sedunia. Clara Zetkin, aktivis perempuan dan tokoh gerakan
sosialis Eropa, mengajukan gagasan strategis untuk mengadopsi model gerakan
buruh perempuan progresif AS, menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan
International, dan menuntut hak pilih untuk semua orang sebagai simbol
perjuangan.
Gagasan
Zetkin membuahkan hasil. Perayaan Hari Perempuan Internasional pada 1911
dimeriahkan oleh demonstrasi massa di berbagai negara. Pada 1914 di Jerman,
ribuan perempuan melakukan pawai akbar menentang Perang Dunia I. Ketika
revolusi Bolsevik (1917) pecah di Russia, Hari Perempuan Internasional
dirayakan dengan parade puluhan ribu massa yang menuntut hak atas pangan bagi
perempuan dan anak.
Setelah
itu baru kemudian mulai tahun 1978, PBB akhirnya menetapkan 8 Maret itu
merupakan Hari Perempuan Internasional. Emansipasi gerakan perempuan
internasional secara historis diawali oleh gerakan buruh perempuan Amerika
Serikat (AS) yang menggeliat kuat di penghujung abad ke 19.
Gugatan
itu mendasari tuntutannya pada isu persamaan hak, kesetaraan gender, hak
memilih dalam pemilu, dan representasi politik perempuan di bidang parlemen.
Dalam konteks ideologis, gerakan perempuan internasional 8 Maret ditujukan
untuk melawan dominasi budaya, eksploitasi sistem kapitalisme, dan proyek
demokrasi liberal yang bias gender. Dalam konteks sosial, kapitalisme praktis
telah melahirkan praktik pemiskinan, diskriminasi, eliminasi, dan memperkuat
budaya politik patriarki yang secara sistematik memarjinalisasi posisi sosial
dan peran politik perempuan.[7]
c.
Rezim gerakan gender di
Indonesia
Ketika masa prakemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai
dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan
atas, seperti: Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien dan lain-lain. Mereka
berjuang mereaksi kondisi perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model
gerakan Dewi Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya
melek huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena
baru sebatas itulah yang memungkinkan untuk dilakukan di masa itu. Sementara
Cut Nya’ Dien yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarkhi Jawa, telah
menunjukkan kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun,
mereka adalah peletak dasar perjuangan perempuan kini.[8]
Di
Indonesia, pada era kebangkitan nasional dan revolusi fisik, berbagai
organisasi perempuan, yang kemudian meleburkan dirinya ke dalam Kongres Wanita
Indonesia (Kowani), memberi kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan
bangsa. Meski isu utama gerakan kebangsaan Indonesia saat itu adalah perjuangan
fisik mengusir penjajah, namun perempuan mendapat tempat terhormat dalam kancah
revolusi nasional. Watak nasionalisme Indonesia tumbuh dalam semangat yang
sensitif gender, egaliter (sederajat/sama), dan humanis.
Di
era kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia dikenal sebagai negara yang
memiliki organ-organ gerakan perempuan progresif dan berwatak nasionalis.
Presiden Soekarno memberi dukungan penuh pada partisipasi dan peran politik
perempuan, mengangkat tokoh perempuan ke berbagai jabatan politik dan pemerintahan,
dan menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Di samping itu Hari
Ibu juga dirayakan setiap 22 Desember.
Di
masa pemerintahan Soeharto, rezim Orde Baru membangun sistem politik korporatik
yang berwatak sentralistik dan antidemokrasi. Berbagai organisasi perempuan
yang bervisi progresif dibubarkan, melarang 8 Maret diperingati sebagai Hari
Perempuan Internasional, dan melakukan ‘sterilisasi’[9]
sistematis atas peran politik perempuan.
Memasuki
era reformasi 1998, kesetaraan gender kembali mendapat tempat dalam kebijakan
negara. Berbagai produk perundangan negara properempuan dibuat, seperti tampak
dalam regulasi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (UU No 7/1984),
gender dalam pembangunan nasional (Inpres No 9/2000), pemenuhan kuota perempuan
dalam partai politik (UU No 31/2002), atau penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga (UU No 23/2004). Namun, implementasi atas peran, posisi, dan tanggung
jawab perempuan kerap terbentur pada tata nilai dan tradisi mayoritas yang bias
gender.
Watak
patriarki, politik domestifikasi, dan praktik antipartisipasi perempuan hingga
kini masih begitu kuat mewarnai cara pikir masyarakat dan perilaku para elite
di negeri ini.
Ke
depan, paling tidak ada tiga prioritas kebijakan yang harus segera dilakukan
pemerintah agar peringatan Hari Perempuan Internasional era reformasi tidak
berlangsung hambar dan terkesan bersifaf simbolik seremonial. Pertama,
political will, pemerintah untuk memperbesar partisipasi dan keterwakilan
politik perempuan dalam berbagai sektor kehidupan publik, terutama melalui
reformasi tata nilai sosial dan sistem budaya yang berwatak antiperempuan. Kedua,
kebijakan strategis untuk mengeluarkan perempuan dari situasi kemiskinan,
eksploitasi, diskriminasi, dan berbagai bentuk tindak kekerasan, termasuk
perluasan akses dan efektivitas penggunaan sumber daya ekonomi dan politik
negara yang properempuan. Ketiga, menghapus pandangan stereotip
di level elite dan mayoritas masyarakat kita yang hingga kini masih memaknai
peran dan fungsi perempuan sebatas urusan domestik (reproduktif), termasuk
mendorong kebijakan pembangunan dan penganggaran yang responsif gender.
Maraknya
kasus perdagangan perempuan, tingginya angka kematian ibu, menumpuknya kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan masih banyaknya buruh migran perempuan
yang menjadi korban tindak kekerasan adalah bagian kecil dari potret
ketertindasan perempuan Indonesia yang terus menjadi drama kemanusiaan negeri
ini.[10]
d.
Pandangan Islam tentang
rezim gerakan gender
Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan
Islam itu sebagai cara pandangannya dalam memandang, menghadapi serta
menyelesaikan segala persoalan. Dimana cara pandang Islam mengharuskan untuk
menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandaran atau acuan dalam menyelesaikan
suatu persoalan termasuk persoalan rezim gender atau kepemimpinan wanita.
Dalam menanggapi hal ini masih terdapat simpang
pendapat dikalangan ahli hukum Islam tentang peran sosial dan politik kaum
wanita. Bolehkan seorang wanita memipin dalam suatu kelompok atau komunitasnya?
Sementara pro dan kontra tetap ada dalam menanggapi hal ini, namun dengan
melihat kenyataan sekarang seorang wanita pun tidak memperdulikan argument
tersebut karena dia berpegang dengan UU mengenai HAM.
Sudah menjadi kenyataan sosial dibanyak negara
seorang wanita menempati jabatan-jabatan publik, contoh saja: Mantan Perdana Menteri Inggris “Margaret Thatcher”, Mantan Perdana Menteri Pakistan “Bhenazir Bhuto”, Mantan Menteri Amerika Serikat, “Medaline Albright”, dan tak terlupakan juga Mantan
Presiden RI yaitu “Megawati Soekarno Putri”.[11]
Mereka semua adalah wanita-wanita yang memegang posisi sebagai pemimpin
dilingkungan dan wilayah mereka masing-masing. Belum lagi wanita-wanita yang menempati posisi
pimpinan di dunia bisnis, LSM,
organisasi kemasyarakatan, dunia pendidikan dan seterusnya.
Mengahadapi kenyataan ini, hukum Islam turut berbicara. Para fuqaha
dari berbagai mazhabnya mengemukakan argumen-argumennya secara tidak seragam,
sehingga menimbulkan perbedaan antara yang mendukung dan yang menolaknya.
pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan seorang wanita atau rezim gerakan
gender banyak ahli fiqih yang mengutip sebuah hadits Nabi yang di riwayatkan
oleh al-Bukhari, sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ لَقَدْ نَفَعْنِيَ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا
مِنْ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. أَيَامَ الْجَمَلَ بَعْدَ ماكدت أَنْ ألْحَقَّ بِأَصَحَاب الجَمَلَ فَأْقاتل مَعَهُمْ قَالَ لِمَا
بَلَغُ رَسُوْلُ الله ص. م. أن أهل فارس قد ملكوا عَلَيْهِمْ بنت كَسِرى قَالَ
عَلَيْهِ الصَلاَةُ وَالسلام لَنْ يُفْلِحُ قَوْمٌ وَلَوْاَأمْرَهُمُ اْمرَأَةِ. ( رواه بخري ).
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Bakar, (ia berkata): “Sungguh, Allah telah
memberi manfaat kepadaku lantaran kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW
pada perang Jamal,ketika aku hampir terjebak ikut perang Jamal.’ Selanjutnya ia
berkata,’ketika berita bahwa persia telah mengangkat Puteri Kirsa sebagai Ratu,
hal itu sampai pada Rasul, kemudian beliau bersabda: “Tidak akan sejahtera
sebuah bangsa yang menyerahkan segala urusannya kepada seorang wanita.” (H.R.
al-Bukhari).[12]
Hampir seluruh fuquha’ yang melarang keterlibatan perempuan menjadi pemimpin mengacu pada hadits ini sebagai dalil. Di belakang itu, mereka memberikan argumen penguat bahwa perempuan adalah makhluk yang kurang akalnya,
tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya. Karena itu, ditutup peluang bagi kaum
wanita untuk menempati jabatan kepemimpinan pada segala bidang yang mengurusi
orang banyak.
Namun demikan, Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menjabat seorang hakim, itu pun dalam perkara hukum
perdata, bukan pidana. Imam Jarir ath-Thabari lebih lunak lagi dengan memperbolehkannya wanita menjadi pemimpin
disegala bidang, kemudian al-Mawardi
langsung menilai sebagai hal tersebut menentang ijmak (kesepakatan para
ulama’).[13]
Dari dalil di atas sebenarnya kurang pas jika untuk dijadikan syarat pelarangan
maupun pengharaman sebab menurut “Ushul Fiqh” sebuah nash baru dapat dikatakan haram jika memuat setidak-tidaknya
ada hal-hal berikut:
(a)
Secara redaksional, nash tersebut mengatakan haram.
(b)
Nash tersebut dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahi.
(c)
Nash tersebut diiringi dengan ancaman siksa (uqubah).
(d)
Menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab menunjukan
tuntutan yang harus dilaksanakan.[14]
Sedangkan hadits diatas hanya mengungkap layyufliha.. “Tidak akan
sejahtera....” Sedangkan menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, hadits itu hanya khusus
berlaku pada masyarakat persia pada waktu itu, bukan untuk semua masyarakat dan
dalam semua bidang urusan.[15]
Dengan alur pemikiran yang seperti diatas maka hadits tadi sesungguhnya
tidak melarang secara tegas. Jika seorang perempuan menjabat sebagai pemimpin
kalau yang dijadikan alasan itu adalah asumsi bahwa perempuan memiliki
kemampuan nalar di bawah laki-laki. Sebagaimana argumen yang dikemukakan para “Fuqaha”, maka alasan ini dapat dimengerti oleh sebab perempuan pada masa itu
minim akses informasi. Akibatnya, perempuan tidak mengetahui masalah secara
komprehensif. Wajar saja jika perempuan pada abad pertengahan terpingkirkan
dalam peran sosial politik, karena lingkungan ketika itu kurang memberikan
peluang secara berimbang antara laki-laki dengan perempuan. Padahal, pada masa
Rasulullah masih hidup, Siti Aisyah mampu meriwayatkan 2210 hadits dan itu
mengkalahkan kalangan sahabat Nabi yang laki-laki.[16]
Tapi hal itu malah tidak jadi perhatian sebagai pertimbangan oleh Rasul dan
para sahabat.
Mengenai argument kedua bahwa perempuan
memiliki kemampuan fisik yang lemah memang demikian halnya. Namun, kelemahan
itu tidak akan terlalu terpengaruh jika ditunjang dengan fasilitas yang
memadai, misalnya fasilitas transportasi, fasilitas komunikasi, serta menejemen
yang canggih akan dapat menutupi kelemahan wanita dibidang ini. Ini juga
sekaligus faktor yang menutupi kekhawatiran orang banyak tentang kemampuan
wanita dalam menata mental spiritualnya.
Persoalan lain muncul ketika ada kesan bahwa perempuan tidak diperbolehkan keluar
rumah. Kesan ini sering dikaitkan dengan pelarangan seorang perempuan mengambil
peran aktif dalam dunia sosial dan politik. Biasanya, pelarangan ini didasarkan
pada firman Allah (Q.S. al-Ahzab(33)),:
وَقُرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ
وَلاَتَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِاْلاُوْلَى.........
“Dan hendaklah kamu dirumahmu, dan jangan
kamu berhias seperti orang-orang jahiliah yang dahulu......” (Q.S.
al-Ahzab(33)),:[17]
Apa yang perlu
dielaborasi adalah bahwa pelarangan keluar rumah pada ayat ini lebih ditujukan
pada mereka yang keluar rumah dengan mengumbar aurat (tabarruj al-jahiliyah)
“تَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِ”.
Karena itu, fiqih sebenarnya
membolehkan keluar rumah untuk bermuamalah dengan ketentuan menutup auratnya.
Bahkan, perempuan sedang menjalani masa idah sekalipun masih ditoleransi untuk
keluar rumah dengan alasan hajat (ada kebutuhan mendesak).[18] Kalau untuk urusan
muamalah yang dimensinya personal saja fiqih membolehkan perempuan keluar
rumah, apakah dengan alasan yang sama (karena kebutuhan) perempuan lalu
dilarang ikut berperan aktif mengurusi umat manusia yang dimensinya sosial dan
langsung bersentuhan dengan hajat orang banyak? Kalau menurut kami boleh-boleh
saja.
IV.
KESIMPULAN
Rezim yaitu serangkaian peraturan, baik formal (misalnya,
Konstitusi) maupun informal (hukum adat, norma-norma budaya atau sosial,
dll) yang mengatur tata cara pelaksanaan suatu pemerintahan dan
interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.
Awal adanya
gerakan perempuan itu dimotori oleh pernyataan sebagai berikut: “Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut
kekuasaan tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa,
mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap
sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan”. Setelah
itu baru kemudian mulai tahun 1978, PBB akhirnya menetapkan 8 Maret itu
merupakan Hari Perempuan Internasional. Emansipasi gerakan perempuan internasional
secara historis diawali oleh gerakan buruh perempuan Amerika Serikat (AS) yang
menggeliat kuat di penghujung abad ke 19.
Sedangkan rezim gerakan gender di Indonesia di motori oleh para tokoh
dari kalangan atas yaitu Kartini, Dewi
Sartika, Cut Nya’ Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi
perempuan di lingkungannya pada bidang pendidikan karena memang hanya itu yang
memungkinkan untuk dilakukannya pada masa itu dan itu pun baru upaya melek
huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, kemudian di
masa orde baru semua perjungan perempuan itu ditentang oleh presiden Soeharto,
karena Soeharto pada masa kepemimpinannya itu menggunakan sistem anti demokrasi
atau yang disebut dengan system otoriter baru kemudian setelah lengser kaum
wanita kembali merdeka.
Sudah menjadi kenyataan sosial dibanyak negara seorang wanita menempati
jabatan-jabatan publik, contoh saja: Mantan
Perdana Menteri Inggris “Margaret Thatcher”, Mantan Perdana Menteri Pakistan “Bhenazir Bhuto”, Mantan Menteri Amerika Serikat, “Medaline Albright”, dan tak terlupakan juga Mantan
Presiden RI yaitu “Megawati Soekarno Putri. Pandangan hukum Islam
terhadap kepemimpinan seorang wanita atau rezim gerakan gender banyak ahli
fiqih yang mengutip sebuah hadits Nabi yang di riwayatkan oleh al-Bukhari. Sehingga
perbedaan pendapat terjadi di dalam kasus ini.
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian yang dapat Penulis sampaikan dalam
makalah ini. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca
sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada
umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Madaniy, A. Malik, Politik Berpayung Fiqh. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren. 2010.
Masdar, Umaruddin,
dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, Yogyakarta: LKiS.
1999.
Pena, Tim Prima, Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: Gitamedia
Press. 2006.
Pradiansyah, Arvan, Atlas Dunia. Yogyakarta: Andi. 2008.
Wieringa, Saskia Eleonora, Penghancuran Gerakan Perempuan:
Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yoyakarta: Galang Prees.
2006.
Yasid, Abu, Fikih Politik.
Jakarta: Erlangga. 2010.
http://agus82.wordpress.com/2007/05/29/opini-gender/
[1]
DR. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi
Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 71
[3]
Tim Prima Pena,
Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), hlm. 412
[5]
Umaruddin
Masdar, dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, (Yogyakarta:
LKiS, 1999), hlm. 39-50
[6]
http://www.averroes.or.id/24/07/2008/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html
[8]
http://agus82.wordpress.com/2007/05/29/opini-gender/
[9] Sterilisasi merupakan suatu
tindakan/ metode yang menyebabkan seorang wanita tidak dapat hamil lagi.
Meskipun sterilisasi merupakan tindakan untuk memandulkan wanita atau pria,
tetapi tidak dapat disamakan pengertiannya dengan istilah infertilitas, karena
istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut:Infertilitas (kemandulan)
menyatakan berkurangnya kesanggupan untuk berkembang biak, tanpa melalui proses
operasi. Jadi perbedaannya adalah sterilisasi merupakan pemandulan dengan cara yang disengaja,
tetapi infertilitas merupakan kemandulan yang tidak disengaja. Lihat, http://al-badar.net/cara-pengertian-dan-hukum-sterilisasi/
[10] Saskia Eleonora Wieringa M.Pd., Penghancuran Gerakan Perempuan:
Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, (Yoyakarta: Galang Prees,
2006), hlm. 476-478
[12]
Dr. Kh. A.
Malik Madaniy, M. A., Politik Berpayung Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2010), hlm. 16